Jakarta - Transparansi fiskal dalam program subsidi energi mulai diimplementasikan pemerintah. Kementerian ESDM secara terbuka mengumumkan besaran dana subsidi yang harus dialokasikan per liternya agar harga Pertalite dapat dijual dengan harga terjangkau Rp 10.000. Pengungkapan ini dilakukan untuk memberikan gambaran kepada masyarakat mengenai beratnya beban negara dalam menstabilkan harga BBM di tingkat konsumen akhir.
Arifin Tasrif selaku Menteri ESDM memaparkan, perhitungan subsidi tersebut sangat kompleks dan dinamis. Faktor utama penentunya adalah harga Mean of Platts Singapore (MOPS) untuk gasoline, yang menjadi acuan harga bahan baku, serta kurs rupiah terhadap dolar AS. Setiap perubahan pada dua variabel ini langsung berdampak pada harga keekonomian Pertalite di dalam negeri. "Kami memiliki formula yang jelas. Setiap pekan kami pantau, dan selisih antara harga patokan dengan HJE Rp 10.000 itulah yang menjadi subsidi," jelas Arifin.
Sebagai contoh konkret, ketika harga MOPS gasoline naik 10 dolar AS per barel dan rupiah melemah, maka harga keekonomian Pertalite bisa meroket. Pada kondisi tertentu, selisih yang harus disubsidi dapat mencapai Rp 3.000 hingga Rp 4.000 untuk setiap liternya. Dengan konsumsi Pertalite yang masif, akumulasi beban subsidi dalam setahun benar-benar mencengangkan dan berpotensi menggerus anggaran untuk sektor lain.
Kebijakan ini tidak lepas dari kritik. Sebagian pengamat memandang bahwa subsidi BBM bersifat regresif dan kurang adil karena dinikmati oleh semua pengguna, tanpa memandang tingkat ekonominya. Mereka yang memiliki mobil mewah sekalipun tetap menikmati harga BBM yang sama dengan tukang ojek online atau sopir angkutan umum. Oleh karena itu, wacana penargetan subsidi atau pengalihan ke bentuk bantuan langsung tunai (BLT) energi selalu mengemuka setiap kali beban subsidi membengkak.
Di sisi lain, pemerintah beralasan bahwa menaikkan harga Pertalite berisiko memicu inflasi tinggi dan gejolak sosial. Pengalaman pada 2022 lalu menjadi pelajaran berharga tentang sensitivitas masyarakat terhadap kenaikan harga BBM. Oleh karena itu, meski berat, pilihan untuk menanggung subsidi masih dianggap sebagai opsi yang lebih aman secara sosial politik dalam jangka pendek.
Upaya mitigasi beban subsidi terus dilakukan. Selain program konversi energi, pemerintah juga mendorong eksplorasi dan produksi minyak domestik untuk menekan ketergantungan impor. Peningkatan kapasitas kilang dalam negeri melalui proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Root Refinery (GRR) juga diharapkan dapat menekan biaya supply dan memperkuat ketahanan energi.
Masyarakat diharapkan dapat menyikapi informasi besaran subsidi ini dengan bijak. Di satu sisi, mereka menikmati harga BBM yang stabil, tetapi di sisi lain harus memahami bahwa stabilisasi itu mahal harganya dan dibayar dari uang rakyat juga melalui APBN. Kesadaran untuk berhemat dan beralih ke transportasi publik atau energi yang lebih bersih adalah kontribusi nyata yang dapat diberikan.
Ke depannya, pemerintah berkomitmen untuk terus mengomunikasikan realisasi dan tantangan subsidi energi ini secara berkala. Dengan pemahaman yang baik, diharapkan kebijakan energi nasional, termasuk penyesuaian harga di kemudian hari jika terpaksa dilakukan, dapat dilaksanakan dengan dukungan dan pemahaman dari seluruh lapisan masyarakat.